"Just because you can't see it, doesn't mean it isn't there" - Laut bukan tempat sampah!

1/26/12

Wisata Horor di Phnom Penh

cerita sebelumnya.... Tenda Biru di Angkor Wat

Awalnya, aku agak heran dengan kawasan Killing Field ini. Tak sesuai dengan keangkeran namanya, Killing Field (lahan pembantaian). Tempat ini hanya terdiri dari sebuah tugu peringatan, museum, dan taman yang ditumbuhi pepohonan rindang dan rerumputan yang hijau... malahan adem banget...

Di sebuah bangku taman aku duduk.
"Enough... I have enough for hearing this," tutur seorang nenek-nenek bule yang duduk tak jauh dari tempatku.
"Oh my God," tambahnya lagi sambil menutup wajahnya erat-erat. Teman sang nenek-nenek tampak menepuk-nepuk bahunya berusaha menenangkan.
"Emang ada apa sih? Kok pada stress gitu?" batinku heran.
Segera aku menyalakan tape dan mengikuti instruksi di dalamnya.

(flash back)

Day 4, (13 Oct' 2011)

Sekitar pkl. 05.45 pagi, aku telah siap di loby hostel. Hari ini jadwal aku meninggalkan kota Siem Reap. Saat check out ada kejadian yang tidak menyenangkan, huh!
Begini ceritanya...

Selama menginap, salah seorang pelayan selalu memintaku untuk membayar makanan yang aku pesan saat itu juga. Tak hanya itu, pada saat check in, pelayan tersebut juga memintaku untuk membayar langsung (saat itu juga) kamar yang aku sewa. Saat aku meminta tanda bukti (kwitansi/bill) tanda pembayaran kamar dan makanan, sang pelayan tidak memberikannya, dengan alasan, "tidak perlu tanda bukti".

Saat itu yang ada dipikiranku adalah "Oh... mungkin di hostel ini memang tidak perlu ada tanda bukti kali ya." Positive thinking! that's what I did. But that's completely wrong!! (kesalahan#1)
Saat check out, pengurus hostel memintaku untuk membayar makanan dan kamar yang sebelumnya sudah aku bayar. Kukatakan pada mereka bahwa aku sudah membayarnya. Mereka minta bukti. Aku tidak punya... (-_-!)

Aku berusaha tenang.. kusebutkan ciri-ciri pelayan yang memintaku untuk membayar langsung. Pengurus hostel menyuruh anak buahnya untuk mencari pelayan yang aku tidak tahu namanya siapa (-_-!) (kesalahan #2)


Setelah menunggu beberapa saat (dengan perasaan yang tidak menentu -_-*) sang pelayan yang aku maksud muncul. Dia pun menjelaskan pada pengurus hostel bahwa memang benar aku telah membayar semuanya. Alhamdulillahh... legaaa rasanya (^_^)
(lesson #1, jangan pernah mengabaikan bukti pembayaran! thats an important thing!).

Hom telah menungguku di halaman hostel, pagi ini ia akan mengantarku ke tempat kantor Sinh Tourist, tempat bus yang akan membawaku ke Phnom Penh. Semalam aku memang telah meminta Hom untuk mengantarku ke Sinh Tourist dengan membayar biaya ojek sebesar US$ 2.

Kendaraan khusus yang digunakan masyarakat saat banjir

Siem Reap City in the morning

Sekitar pkl. 06.30 pagi aku tiba di depan kantor Sinh Tourist. Setelah menunggu sekitar 20 menit, bus pun bergerak melintasi jalan beraspal diiringi rintik-rintik hujan.
So long Siem Reap... so long Angkor... don't know when we'll meet again. But for sure I know, we are sister in ancient temple site... (^_^)

Road To Phnom Penh City

Di tengah-tengah perjalanan air hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Jalan menuju kota Phnom Penh (ibukota Kamboja) sama dengan yang aku lalui kemarin lusa.
Sawah... rumah penduduk... bunga lotus... potongan kayu bakar... banjir... same sceneries...:)

Kami pun beristirahat di rumah makan yang sama. Di sini aku tidak makan, hanya membeli cookies seharga US$ 1. Di depan rumah makan ada pedagang makanan yang menjual kuliner khas masyarakat Cambodia yang amat menguji nyali: tarantula goreng... :O

Bus dan rumah makan yang sama

Tarantula hidup, hiii...

Tarantula goreng, mau?

Setelah beristirahat kurang lebih setengah jam, bus kembali melaju. Sekitar pkl 13.00 siang, bus tiba di kota Pnom Penh, tepatnya di kantor Sinh Tourist.

Turun dari bus aku langsung memesan kamar hotel di Sinh Tourist (seperti yang aku ceritakan sebelumnya, kantor Sinh Toursit juga merangkap hotel dan restoran). Harga per malam untuk single room sebesar US$ 12. Kamar yang aku tempati terletak di lantai 2.

I've got a big room: double bed, hot/cold water, tv cable, mini bar, AC

Setelah bersih-bersih, sholat dan meletakkan backpack, aku menuju restoran untuk makan siang. Menu yang aku pesan adalah vegetable noodle and lemon ice... seger banget gan lemon ice-nya... ^.^ Harga yang harus aku bayar sekitar US$ 3,5.

Vegetable noodle dan lemon ice

Kelar makan, aku menuju tempat resepsionis dan menanyakan berapa harga untuk menyewa tuk-tuk. Untuk menghemat waktu, siang itu aku ingin jalan-jalan keliling kota Pnom Penh.

Oya, tuk-tuk adalah kendaraan sejenis becak motor. Untuk keliling tempat wisata di Pnom Penh, kita bisa menyewa kendaraan ini. Harga sewa tergantung kecanggihan Anda dalam menawar :)

Tuk-tuk in my lens

Sang resepsionis pun keluar ruangan. Kebetulan di sebelah hotel ada warung minum, disitu banyak orang berkumpul. Di antara orang-orang tersebut adalah para supir tuk-tuk, yang siap mengantar penumpang hotel yang ingin melancong.

Selang lima menit menuggu, resepsionis hotel menghampiriku. Katanya, biaya sewa tuk-tuk untuk setengah hari adalah US$ 20. Aku terhenyak, gileee ajeee... biaya sewa tuk-tuk lebih mahal dari harga tiket bus Siem Reap ke Phnom Penh!
Aku pun menawar, kukatakan pada resepsionis bahwa aku tidak menyewa tuk-tuk selama itu, hanya sampai sore saja (saat itu waktu sudah menunjukkan pkl. 14). Akhirnya, harga yang kami sepakati adalah US$ 12.

Tuk-tuk pun melaju dengan aku di atasnya. Dengan suara mirip bajaj, tuk-tuk yang aku tumpangi meliuk-liuk lincah di jalanan kota. Asli lho, naik tuk-tuk ini sama dengan naik bajaj! keduanya juga sama-sama kendaraan para dewa. Karena hanya para dewa lah yang tau kapan mereka belok kanan atau ke kiri atau berhenti... ckckck.. :O

Oya, tujuan wisata pertamaku adalah mengunjungi Killing Field atau Cheung Ek Genocidal Center. Lokasinya terletak di pinggir kota Phnom Penh. Tempat ini sangat terkenal dan cukup membuatku penasaran lantaran merupakan tempat pembataian lebih dari ratusan ribu penduduk sipil pada jaman pemerintahan Khmer Rouge (Khmer Merah).

Tuk-tuk, me and mask..

Jangan lupa... untuk menuju Killing Field, Anda harus sedia masker dan kacamata yang lebar, lantaran debu-debu di sepanjang jalan akan menyapu bersih wajah Anda... (-__-!)
Siyalnya... saat itu aku lupa membawa kacamata! alhasil sepanjang jalan aku lebih banyak merem dan sibuk menutupi wajahku demi terhindar dari debu-debu yang terus berterbangan genit mengitariku... *sigh

FYI: saat berkendara dengan tuk-tuk, waspadalah selalu dengan barang bawaan kamu. Banyak kasus penjambretan terjadi di Tuk-tuk. Peluk erat tas dan kamera kamu, jangan diletakkan di bangku. Beware when you are travelling dude ;)

Killing Field (Cheung Ek Genocidal Center)

Setelah kurang lebih 45 menit berkendara, aku tiba di depan gerbang Killing Field.
"Welcome to nightmare..." batinku dalam hati.

Di pintu gerbang aku disambit oleh penjaga yang memintaku untuk membayar tiket sebesar US$ 5.
Setelah itu aku menerima sebuah tape recorder berikut map dan ear phone. Kemudian petugas memberikan petunjuk bagaimana cara menggunakan tape recorder dan map tersebut.

Pintu masuk Killing Field

Teteup narsis.. :D




Di map (peta) tertera peta lokasi Killing Field berikut nomer-nomer pemberhentian. Di setiap nomer itulah aku berhenti untuk mendengarkan penjelasan dari tape recorder tentang peristiwa yang terjadi di tempat itu di masa lampau.


Suasana sunyi begitu terasa di tempat ini. Pengunjung memang dilarang berbicara keras-keras/tertawa, dilarang merokok, dan harus memakai pakaian yang sopan, demi menghormati mereka yang telah tiada...

Awalnya, aku agak heran dengan kawasan Killing Field ini. Tak sesuai dengan keangkeran namanya, Killing Field (lahan pembantaian). Tempat ini hanya terdiri dari sebuah tugu peringatan, museum, dan taman yang ditumbuhi pepohonan rindang dan rerumputan yang hijau... adem banget...

Gbr atas: kuburan. Gbr bawah: suasana sekitar

Di sebuah bangku taman aku duduk.
"Enough... I have enough for hearing this," tutur seorang nenek-nenek bule yang duduk tak jauh dari tempatku.
"Oh my God," tambahnya lagi sambil menutup wajahnya erat-erat. Teman sang nenek-nenek tampak menepuk-nepuk bahunya berusaha menenangkan.

"Emang ada apa sih? Kok pada stress gitu?" batinku heran.
Segera aku menyalakan tape dan mengikuti instruksi di dalamnya.

Kiri: tape dan map. Kanan: lokasi no.4 (The Executioners' Working Office) dulu tempat ini ada bangunan yang berfungsi sebagai kantor eksekusi

Dengan santai aku mulai melangkah menuju lokasi no. 1, berhenti dan menyalakan tape. Dari dalam tape terdengar suara dalam bahasa Inggris (Oya, ada beberapa pilihan bahasa, untuk mendengarkan penjelasan dari tape). Suara tersebut menjelaskan kejadian apa yang terjadi di lokasi no. 1. Begitu seterusnya hingga lokasi terakhir, no. 19.

Aku terus berjalan sambil menyimak penjelasan dari tape recorder. Perlahan bulu kudukku mulai merinding... Suasana yang sepi terasa mencekam... ditambah angin semilir membuat perasaanku semakin tidak karuan. Hatiku mulai resah... bercampur aduk... rasanya ingin marah dan menangis sekencang-kencangnya saat mendengarkan penjelasan dari dalam tape tentang bagaimana kejam dan brutalnya tentara Khmer Merah... :'((

Di sini terbaring 450 korban

Di tempat ini terdapat 166 korban tanpa kepala

Kuburan massal, korbannya anak-anak dan perempuan dalam kondisi telanjang!

Khmer Merah merupakan partai komunis yang dipimpin oleh Pol Pot, yang berkuasa di Kamboja sejak tahun 1975-1979. Dalam memimpin, Pol Pot dibantu oleh para kaki tangannya yang bernama Nuon Chea, Leng Sary, Son Sen, dan Khieu Samphan (info dari Om Wiki).

Saat berkuasa, Khmer Merah melaksanakan program radikal, diantaranya mengisolasi Kamboja dari pengaruh asing, menutup sekolah-sekolah, rumah sakit, dan pabrik; menutup bank; membakar uang; melarang semua agama; menyita semua milik pribadi; membunuh kaum elit intelektual; menghilangkan hak-hak rakyat Kamboja sebagai manusia; dan merelokasi orang-orang yang tinggal di perkotaan untuk dipekerjakan secara paksa di bidang pertanian.

Khmer Merah ingin menciptakan masyarakat komunis yang berbasis agraria. Dalam melakukan aksinya, tentara Khmer Merah sangat brutal dan biadab. Akibatnya, mayat-mayat bergelimpangan... entah karena dieksekusi, kelelahan, penyakit, maupun kelaparan... :'(

Partai Khmer Merah berusaha untuk mengubah Kamboja menjadi sebuah masyarakat tanpa kelas dan memaksa penduduk untuk menjadi petani. Mereka berharap bisa memproduksi 3 ton beras per hektar (sebelumnya, masyarakat hanya mampu memproduksi 1 ton per hektar).

Untuk itulah masyarakat dipaksa untuk bekerja 12 jam non-stop tanpa istirahat dan makan. Mereka tidak percaya dengan pengobatan luar dan hanya mengandalkan pengobatan tradisional, tak heran banyak pekerja yang meninggal karena sakit.

Dalam mendukung aksinya, tentara Khmer Merah tidak memiliki cukup senjata. Tapi mereka tidak kehilangan akal. Bahan-bahan yang tumbuh di alam digunakan sebagai senjata yang mematikan! deadly weapon!!

Dahan pohon palem yang setajam gigi ikan hiu, siap menebas siapapun tanpa ampun!

Magic Tree. Dahan pohon ini dijadikan alat untuk menggantung loud speaker agar lolongan korban yang dibunuh oleh suara speaker. Pembunuhan dilakukan dengan menggunakan palu, linggis, dan sejenisnya, karena peluru/amunisi adalah barang mahal. Kebayangkan jeritannya seperti apa... :((

Tak terasa pipiku basah saat tiba di lokasi ini... :'((

Killing Tree. Batangnya yang keras digunakan sebagai alat eksekusi. Caranya? tentara Khmer Merah membenturkan kepala bayi dan anak-anak ke batang pohon hingga remuk/pecah :(

Tentara Khmer Merah memang tidak segan-segan untuk membunuh bayi dan anak-anak. Menurut mereka, kalau anak-anak tersebut dibiarkan hidup maka mereka akan membalas dendam atas kematian orangtua mereka. Dengan menghabisi anak-anak maka habis pula satu generasi... Oh my god...  very brutalll... :'((

Jumlah persis orang-orang yang meninggal akibat kekejaman Khmer Merah hingga kini masih menjadi perdebatan. Pada awal tahun 1980-an, studi yang dilakukan pemerintah Vietnam mengatakan bahwa ada sekitar 4,8 juta penduduk yang meninggal, yang tersebar di seluruh wilayah Kamboja.

Beberapa studi lainnya memperkirakan bahwa penduduk yang meninggal mendekati angka 1,7 juta (21% dari total populasi penduduk Kamboja). Penelitian lainnya menyebutkan jumlah 2 juta penduduk yang meninggal.

Pol Pot sendiri mengaku bahwa masa kepemimpinannya menelan korban 800.000 jiwa, sementara wakilnya (Khieu Samphan) mengatakan bahwa 1 juta orang yang telah terbunuh.

Memorial Stupa. Tugu peringatan bagi mereka yang telah tiada. Gbr kanan: Tengkorak kepala yang ada di dalam tugu, korban usia 15-60 tahun

Museum. Di dalamnya terdapat sejarah masa kelam masa kepemimpinan Pol Pot. Juga ada foto, sample alat penyiksa, dan studio mini untuk menonton film tentang sejarah Kamboja

Setelah 4 tahun berkuasa, rezim Khmer Merah digulingkan pada tahun 1979 oleh invasi dari kaum sosialis Republik Vietnam dan digantikan oleh kaum moderate, pro Komunis Vietnam. Khmer Merah sendiri masih bertahan hingga tahun 1990-an sebagai pergerakan pemberontak yang beroperasi di bagian barat Kamboja dan bermarkas di Thailand.

Pada tahun 1996 organisasi Khmer Merah dibubarkan. Pol Pot meninggal di tempat pengasingan pada tanggal 15 April 1998, tanpa pernah disidang.

Diktator itu akhirnya mati juga

Usai berkeliling Killing Field, aku beranjak pergi. Waktu sudah menunjukkan pkl. 16.00 sore. Aku meminta pada supir tuk-tuk untuk mengantarku menuju Royal Palace. Tapi ia menolaknya dengan alasan waktu yang tidak memungkinkan (sudah terlalu sore).

"Do you want to go back to hotel?" tanyanya.
"Hah? enak aja," batinku kesal. Yaealah... aku sudah membayar US$ 12, tapi hanya pergi ke satu tempat saja? no wayyyyy.... (-__-!)

Aku ngotot ke supir tuk-tuk agar ia membawaku ke National Museum atau Wat Phnom, tapi lagi-lagi si supir menolaknya dengan alasan waktu yang sudah kesorean.

"I pay you 12 dollar and you only take me to one place? oh my god, its too expensive!" sungutku kesal pada supir tuk-tuk.
Sumpeh lho... aku kesellll bangetttt... @*#$#@*

Akhirnya, setelah berdebat panjang dan alotttt... kami mencapai kesepakatan baru. Besok, aku akan diantar mengunjungi Royal Palace, dll, dengan membayar biaya tambahan sebesar US$ 8. Dan sore ini supir tuk-tuk akan membawaku mengunjungi Tuol Sleng Genocide Museum.
(lesson #2, jika kamu merasa dirugikan, jangan takut untuk berdebat. Supir tuk-tuk kadang menggunakan segala cara agar uang kamu keluar).

Tuol Sleng Genocide Museum (S-21)

Aku tiba di Tuol Sleng Genocide Museum atau Office 21 (S-21) sekitar pkl. 16.30 sore. Museum ini buka setiap hari dari pkl. 08.00 - 18.00. Harga tiket yang harus dibayar US$ 2.

Sinar matahari mulai agak pudar saat aku memasuki kawasan museum. Tuol Sleng Genocide Museum berdiri di atas tanah seluas 600x400m. Pada awalnya merupakan sekolah SD Tuol Sleng dan SMP Tuol Svay Prey.

Pintu masuk Tuol Sleng Genocide Museum (S-21)

Aku cerita sedikit ya tentang sejarah S-21 ini... :)
Pada saat rezim Pol Pot berkuasa, Office 21 atau disebut juga dengan S-21 adalah gedung sekolah yang didesain sebagai tempat pengakuan, interogasi, penyiksaan, dan pembunuhan. Semua kebrutalan tersebut didokumentasikan oleh partai Khmer Merah melalui foto dan film.

Di tempat ini ada 4 bangunan utama (A, B, C, dan D) yang terdiri dari 3 lantai dan jaraknya berdekatan. Di tengah-tengah bangunan ada halaman rumput,  taman, alat-alat penyiksa, dan kuburan.

Taman dan halaman

Atas: Kuburan. kuburan ini terdiri dari 14 kerangka manusia, satu di antaranya perempuan, yang meninggal akibat disiksa. Bawah: Papan peraturan pada masa itu

Sore itu hanya sedikit wisatawan yang mengunjungi S-12. Bangunan pertama dan terdekat yang aku masuki adalah Gedung A. Menurut data yang aku punya, Gedung A digunakan untuk menyiksa orang-orang yang dianggap melawan kekuasaan Pol Pot.
Ruang-ruang kelasnya diubah menjadi seukuran 6x4m. Di setiap ruang, terdapat ranjang besi berikut alat-alat untuk menyiksa.

Atas: Ranjang besi berikut alat-alat penyiksa. Bawah: Lukisan yang menggambarkan penyiksaan di ranjang tersebut

Saat masuk ke salah satu ruang kelas dan mengambil foto, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh... nafasku tiba-tiba sesakkk... aku pun memutuskan untuk keluar dari ruangan kelas. Mengambil nafas di luar dan masuk lagi ke dalam, sesakk... lalu kembali ke luar untuk mengambil nafas. Bingung...

Kuamati seisi ruang kelas yang pintunya terbuka lebar itu, ada jendela sebagai ventilasi di dalamnya. Udara dengan genit leluasa keluar masuk dari ruangan itu, tapi kenapa nafasku begitu sesak saat berada di dalamnya?...

Sutralah... masih penasaran, aku mencoba masuk ke ruang kelas sebelah, dan kembali merasa sesak. Di ruang-ruang kelas ini aku kesulitan bernafas... Akhirnya, aku menyerah. Kuputuskan untuk mengamati ruang-ruang kelas tersebut dari luar saja... this is wierd... feels likes something hold me tight when I was in.. (kalo kata emak gw, banyak jurignya kali... :p)

Tiang kayu

Di depan Gedung A ada tiang kayu yang dulunya digunakan sebagai alat olahraga. Tapi pada masa pemerintahan Pol Pot berubah fungsi menjadi alat penyiksa. Metode penyiksaannya: korban di ikat dengan kepala berada di bawah lalu celupkan ke dalam gentong yang berisi kotoran manusia saat korban pingsan (setelah disiksa). Gunanya agar korban sadar dan interogasi di lanjutkan kembali :'(

Setelah mengamati Gedung A, aku menuju Gedung B. Di dalam gedung B aku melihat banyak sekali foto-foto yang dipamerkan. Foto-foto dan lukisan tentang kekejaman tentara Khmer Merah. Ada sebuah foto hitam putih, disitu terdapat 5 orang pria.

Satu diantara pria tersebut adalah saksi hidup yang berhasil lolos (selamat) dari penjara S-21 ini.Sebelum ditangkap oleh tentara Khmer Merah, Orang tersebut (sudah meninggal 2 tahun yang lalu-red) adalah seorang pelukis. Ia menggunakan keahliannya, melukis tindakan brutal dan kekejaman rezim Pol Pot kala itu. (Info dari tur guide).

Foto-foto dan lukisan tentang kekejaman pada masa itu


Saat aku masuk ke Gedung C, tiap-tiap kelasnya diubah menjadi penjara-penjara kecil berukuran 0,8x2m yang dibuat dari batu bata dan kayu.

Masa tahanan di S-21 antara 2-4 bulan, sedangkan untuk tahanan politik mencapai 6-7 bulan

Penjara kecil dari kayu

Di depannya dipasang kawat duri yang mampu mencegah tahanan agar tidak melarikan diri atau lompat (bunuh diri) dari atas gedung.

Kawat berduri

Sedangkan di Gedung D, berisi foto-foto dan lukisan tentang sejarah kelam rakyat Kamboja di masa pemerintahan Pol Pot.

Oya, menurut data yang ada, sejak tahun 1975-1978, tahanan yang menghuni S-21 sejumlah:
1975: 154 tahanan.
1976: 2.250 tahanan.
1977: 2.350 tahanan.
1978: 5.765 tahanan.
Data tersebut tidak termasuk anak-anak yang juga ikut terbunuh, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 20.000 orang.

Sebelum pulang, narsis dulu

Sekitar pkl. 17.30 aku pergi meninggalkan S-21. Usai sudah kunjungan yang benar-benar mengaduk-aduk perasaan dan membuatku lemas... :'(

bersambung The Beauty of Phnom Penh

Salam,
Ifa Abdoel

2 comments:

  1. Saya baru pulang dari Phnom Penh bulan lalu. Ulasan yg bagus, it's horror but incredible learning experience.

    oh ya saya ingin sedikit comment. Magic tree sebenarnya bukan digunakan utk menggantung korban, tapi tempat menggantung loudspeaker, agar lolongan korban yg dibunuh tertutupi oleh suara speaker. Amunisi adalah barang mahal, jd korban dibunuh dengan palu, linggis, skop, bambu dll.

    Terus gentong yg dipakai utk mencelupkan korban yg pingsan itu bukan isinya air, tapi kotoran manusia... sehingga korban akan sadar dan interogasi dilanjutkan... kejam, brutal..

    ReplyDelete