"Just because you can't see it, doesn't mean it isn't there" - Laut bukan tempat sampah!

6/4/14

Jakarta Punya Hutan Mangrove?

Kebanyakan masyarakat yang tinggal di Jakarta membawa keluarga (terutama anak-anaknya) jalan-jalan ke mall atau pusat perbelanjaan saat weekend tiba. Sepertinya mall sudah dijadikan tempat wisata 'wajib' kunjung bagi keluarga saat menghabiskan libur akhir pekan. 
Padahal selain mall, masih banyak objek wisata di Jakarta yang menarik, indah, tidak perlu mengeluarkan biaya mahal, dan memiliki nilai edukasi yang bisa menambah ilmu pengetahuan anak-anak maupun diri kita sendiri. 
Ga percaya??

Coba deh datang ke Hutan Mangrove di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK). Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan di salah satu kawasan konservasi mangrove di Jakarta ini. 
Eh.. eh.. ntar dulu, emangnya Jakarta punya hutan mangrove?

Yup.. tak hanya diisi oleh hutan beton, Jakarta juga memiliki hutan mangrove lho.. namanya Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk. 
Terletak di Utara Jakarta, hutan mangrove ini tumbuh, dan bertahan di tengah himpitan hutan beton dan perumahan mewah PIK..

Mau tau lebih lengkapnya? baca cerita aku saat berkunjung ke hutan mangrove ini yuks.. (^_^) 

Sabtu, 15 Mei 2014

Terengah-engah aku berlari menuruni tangga halte busway demi mengejar sebuah bus gandeng berwarna merah kuning yang sedang menaikkan dan menurunkan penumpang. Seorang petugas di dalam busway hanya melambaikan tangannya padaku saat pintu bus tertutup dan bus melaju kembali. Huh! Aku terlambat mengejar busway tujuan Pinang Ranti tersebut.

Tak lama kemudian, sebuah bus BKTB dengan warna birunya yang mencolok berhenti dihadapanku. “Grogol – Cibinong,” ucapku dalam hati membaca huruf yang tertera di atas bus. Iseng aku menjelajah isi bus yang dihuni oleh beberapa penumpang. Senyum tersungging di bibirku saat melihat Fitri tertidur lelap di salah satu kursi bus itu.

Fitri adalah salah satu teman yang dengannya aku akan mengunjungi TWA Angke Kapuk. Itu berarti aku tidak perlu menunggu lama untuk berkumpul dengan mereka. Benar saja, setelah busway yang mengangkutku tiba di Halte Penjaringan, Fitri sudah duduk manis menunggu kedatanganku. Hmm... Sari tidak tampak disitu. Ia muncul setelah hampir 45 menit kemudian! (itu anak emang sering banget  ngaret.. (-_-*)).

Setelah kami berkumpul, perjalanan dilanjutkan dengan naik angkot merah B01 tujuan Muara Angke dan turun di depan pizza hut muara karang (atau tempat angkot U11 ngetem). Ongkos angkot yang harus kami bayar Rp 3 rebu *beuhh..*

Dari situ, perjalanan menuju hutan mangrove dilanjutkan dengan naik angkot merah U11 dan turun di depan Yayasan Buddha Tzu Chi. Ongkos angkotnya Rp 4 rebu *beuhh..*

Nahhh... pas di depan Yayasan Budha Tzu Chi itulah aku baru ngeh bahwa untuk menuju hutan mangrove ternyata bisa menggunakan bus BKTB (Bus Kota Terintegrasi Busway) warna merah kuning, tujuan Monas – Pantai Indah Kapuk. Pasalnya di depan Yayasan Buddha Tzu Chi bertengger sebuah marka jalan bertuliskan "Bus Kota Terintegrasi Busway" berikut gambar bus.

FYI: Untuk menggunakan jasa bus BKTB ini, kamu bisa naik dari halte busway Monas atau halte busway Penjaringan. Turunnya di depan Yayasan Buddha Tzu Chi. Naik BKTB lebih mudah, murah, nyaman dan ber AC pulak hehehe... Tarifnya Rp 6 rebu saja.. *beuhh..*


Di depan Yayasan Buddha Tzu Chi


Di depan Yayasan Buddha Tzu Chi, ada beberapa orang satpam dan polisi. Dari pada nyasar, aku pun bertanya letak hutan mangrove pada mereka dan mereka pun menunjukkannya dengan senang hati. Setelah itu kami berjalan kaki sesuai petunjuk yang diberikan. 


Ternyata mudah sekali mencari lokasi hutan mangrove. Di sebelah Yayasan Buddha Tzu Chi, ada sebuah jalan yang di depannya terdapat putaran, masuk saja ke jalan tersebut hingga ujung (mentok), lalu belok ke kanan (di persimpangan jalan ada petunjuk jalan menuju TWA Angke Kapuk kok.. jangan kuatir nyasar yah..). Seratus meter dari situ, pintu masuk ke hutan mangrove sudah terlihat. Hutan mangrove ini lokasinya persis di belakang Yayasan Buddha Tzu Chi.. :D

Taman Wisata Alam Angke Kapuk

Di depan pintu masuk, beberapa orang petugas dengan seragam hijau seperti hansip, melakukan pengecekan terhadap pengunjung yang datang. Untuk masuk ke dalam kawasan ini kami harus merogoh kocek sebesar Rp 10 rebu/orang *beuhh..* Sedangkan untuk turis asing Rp 23.000/orang.


Pintu masuk TWA Angke Kapuk

Baru saja masuk beberapa langkah ke dalam kawasan hutan mangrove, kami langsung disambut dengan pemandangan indah sebuah mesjid yang terbuat dari kayu. Di depan mesjid terbentang jembatan kayu berwarna coklat tua yang di sisi-sisinya terdapat tiang kayu tempat berdirinya lampu-lampu sebagai pemanis.

Terpana dengan pemandangan itu kami lantas berhenti dan berebut berfoto dengan latar mesjid tersebut, hihihi..

Mejeng di depan mesjid :D

Aku yang penasaran dengan bagian dalam mesjid, melangkah lebih jauh meniti jembatan kayu yang menghubungkan bangunan mesjid dengan jalan raya. Dan... pemandangan indah kutemui lagi disini..(^_^)


Narsis dulu yah.. ^^

Setelah puas berfoto-foto di mesjid, kami kembali bergerak keluar dari pelataran mesjid menuju kawasan wisata. Di sebuah tempat parkir yang cukup luas, kami dihadang kembali oleh beberapa orang petugas dengan pakaian hansipnya. Mereka hendak mengecek barang bawaan kami. 
“Di sini dilarang menggunakan kamera ya. Kalo mau ngambil foto cukup dengan kamera di HP atau tablet,” begitu katanya.

Aku langsung mahfum. Kukatakan padanya bahwa tak satupun dari kami yang membawa kamera karena kami sudah mengetahui hal itu sebelumnya.

FYI: di kawasan ini memang dilarang membawa kamera poket atau DSLR atau mirorless dan sejenisnya. Hanya kamera dari HP atau tablet saja yang bisa dipergunakan. Kalo di dalam kamu nekat menggunakan kamera poket dan ketahuan, denda yang menanti kamu sebesar Rp 500 rebu.. *beuhh..*

Entah alasannya apa pelarangan membawa kamera ini, tapi denger-denger sih, pemilik kawasan konservasi mangrove ini lebih menyukai yang datang ke tempat ini untuk belajar tentang alam,  tentang mangrove, maupun tentang burung-burung laut yang sudah jarang ditemui.

Namun demikian, untuk kamu pehobi fotografi yang memang ingin hunting foto di tempat ini, tetap bisa membawa kamera kesayangan kamu itu. Hanya saja, biaya yang harus kamu keluarkan untuk itu sebesar Rp 1 juta untuk 7 orang. Biaya tersebut sudah termasuk fasilitas semua lokasi outdoor TWA Angke Kapuk, dan foto pribadi dengan menggunakan kamera dan model profesional yang dihitung sebagai foto model.

Olrite... back to my story..
Dari pos penjaga kami bergerak masuk ke area wisata. Sebuah restoran yang dilengkapi dengan kursi-kursi kayu yang didesain unik jadi tempat transit kami. Di restoran ini kamu bisa minta brosur tempat wisata ini.

Di depan restoran berjejer penginapan berupa rumah panggung yang semuanya terbuat dari kayu. Penginapan ini disewakan dengan tarif tertentu.

Di sebelah penginapan ada dua buah bangunan mirip saung yang di dalamnya dilengkapi meja panjang dan kursi panjang yang semuanya terbuat dari kayu, cantik sekali... (^_^)


Pengen banget punya meja dan kursi makan ala warteg kaya gini, hihi.. ;))

Tak jauh dari restoran, ada lahan yang cukup luas, yang bisa digunakan untuk kemping atau berkemah, yang dilengkapi dengan beberapa permainan outbond. Nah, yang paling menarik adalah bentuk dari rumah tenda yang disewakan.

Rumah segitiga yang terbuat dari campuran kayu merbau, bengkiran, dan kelapa, yang didesain menyerupai tenda ini hanya dilengkapi dengan kasur dan kipas angin, kamar mandinya di luar (sharing). Jadi, kalo siang hari sebaiknya jangan di dalem kamar yah, bakalan gosonggg.. cos tempat ini panasnya luar binasaaa.. :D
Tapi kalo mo rumah yang ber-AC bisa sewa penginapan model rumah panggung. Info lengkap silahkan cek websitenya.. :)

Camping ground & rumah tenda ^^
Di depan rumah tenda ^^

Puas foto-foto di area kemping, kami pun berjalan kembali di atas susunan paving block. Sebuah bangunan permanen dari semen bertuliskan 'wisata air' menyedot perhatian kami. Di situ tertulis, untuk sewa perahu boat dengan mesin (bensin) tarif yang berlaku Rp 300.000/8 orang/boat. Sedangkan untuk perahu dayung Rp 150.000/6 orang/perahu. Dan kano Rp 50.000/45 menit bisa untuk dua orang.

Tadinya kami ingin menyewa perahu dayung tapi ternyata perahunya rusak. Petugas menyarankan untuk menyewa boat. Kami pun menolaknya, dengan alasan akan kembali nanti jika ada orang yang ingin menyewa boat juga. Maksudnya sih biar bisa patungan, pan biaya boat jadi lebih murah tuh hehehe... 
(belakangan setelah berkeliling hutan mangrove, kami memutuskan untuk tidak jadi menyewa boat karena dengan jalan kaki, kami sudah bisa melihat semua kawasan hutan. Mungkin sensasi naik boat-nya aja kali yang bikin beda.. :D)


Paving block, jembatan gantung, dan boat ^^

Kami pun bergerak kembali masuk ke dalam, menapaki paving block yang tersusun rapih. Di kiri kanan kami mulai terlihat rimbunnya hutan mangrove. Sesekali terlihat burung-burung dengan ukuran yang cukup besar bertengger di antara dahan mangrove, tanpa kuatir dengan keselamatan dirinya.

Sebuah papan dengan anak panah bertuliskan 'Menara Pengamatan Burung' pun terlihat. Kami pun berbelok, masuk ke jalan tersebut. Jalan paving block kini berganti dengan jembatan yang tersusun dari kayu mangrove. Di sepanjang sisi dan bagian bawah jembatan kayu, terbentang rawa-rawa yang dipenuhi air berwana coklat. Sesekali bau khas 'kayu lapuk' tercium olehku. 

Di atas rawa berdiri kokoh pohon-pohon mangrove berbagai ukuran dan jenis di atas rawa yang membentuk kanopi di sepanjang jembatan kayu, jadinya teduh bangettt.. (^_^)
Sayang, di beberapa tempat dan di celah-celah akar mangrove, sampah-sampah plastik tergeletak tak terjamah. Belum lagi coretan-coretan di batang mangrove dan jembatan kayu, miris liatnya.. (-_-*)

Rimbunnn... ^^


(kika) Sampah di sela-sela akar mangrove, kayu dari mangrove yang sudah mati, tempat sampah yang ada di tiap sudut, & coretan di atas jembatan kayu

Aku cerita sedikit tentang TWA Angke Kapuk ini yah.. :)
TWA Angke Kapuk merupakan kawasan pelesatarian alam yang digagas oleh pihak swasta yang khawatir keberadaan hutan mangrove yang tinggal sedikit di Jakarta ini akan menghilang akibat perambahan hutan mangrove, pencemaran air, dan abrasi laut. 


Jembatan kayu ^^


2b: bridge and boat :D

Padahal keberadaan hutan mangrove sangat strategis bagi pesisir pantai Ibukota Indonesia ini. Hutan mangrove mampu mencegah instrusi (perembesan) air laut ke daratan dan juga berperan dalam meredam bencana banjir karena satu gram lumpur mampu menyerap tiga gram air. Tak heran jika keberadaan hutan mangrove sangat penting.

Oleh sebab itu, mereka pun merehabilitasi hutan mangrove yang tersisa, sekaligus memanfaatkannya  untuk kegiatan wisata alam dan berpusat pada pengembangan ecotourism. 
TWA Angke Kapuk itu sendiri memiliki area seluas 99.82 Ha, yang terdiri dari tipe lahan basah yang di dominasi vegetasi utama mangrove. Hingga saat ini 40 % dari kawasan tersebut telah direhabilitasi dengan pelestarian dan penanaman kembali hutan mangrove.


Jenis mangrove yang ada di sini


Ini juga jenis mangrove yang tumbuh di sini

Menara Pengamatan Burung

Olrite.. back again to my story yah.. 
Setelah sekian lama berjalan akhirnya kami sampai di ujung jalan dan ga menemukan Menara Pengamatan Burung. Ketemunya malah sama orang-orang yang lagi asyik pacaran.. (-_-*)

Orang yang lagi pacaran, coretan di batang kayu, dan sampah plastik :O

Kami pun berbalik arah. 
Seharusnya menara pengamatan bisa terlihat dari jauh karena yang namanya menara pasti tinggi. Tapi kami tidak melihat sama sekali tanda-tanda adanya bangunan menara. Hingga di sebuah persimpangan yang hampir tak terlihat, karena hanya berupa jalan setapak yang sempit, beberapa orang tampak keluar dari jalan setapak tersebut. 

Tanpa babibu, Fitri berinisiatif bertanya pada mereka lokasi Menara Pengamatan Burung. Dan benar saja, menurut mereka, menara itu ada di ujung jalan setapak ini.

Pas jalan menuju menara nemu pohon bengkok, jadilah pose dulu ;))

Legaaa... akhirnya setelah berkutat dengan kaki pegal plus gempor kami bertemu juga dengan pengamatan burung. Tapi setelah tiba di lokasi menara. Betapa terkejutnya kami melihat bentuk menara pengamatan tersebut. Bangunan menara yang terbuat dari kayu terlihat pendek (pantasan aja nggak keliatan dari jauh, soalnya ketutupan puun mangrove.. :p).

Yang bikin ga seru, di atas menara (paling ujung) hanyalah berupa ruang kotak yang tertutup. Kami tidak bisa melihat pemandangan dari atas menara secara leluasa. Hanya melalui celah sempit berbentuk persegi panjang yang diatur mengelilingi ruang kotak tersebut itulah cara kami melihat pemandangan di sekeliling, beuhh...

Tapi yang bikin kaget, di tempat itu ada dua orang, pria dan wanita yang cukup berumur (kaya'nya lagi pacaran di situ deh, hayyahh... :O). Mereka tampak berusaha santai saat kami datang, tapi yang perempuan tampak canggung dan berusaha menghindari kontak mata dari kami. Duh... tolong menaranya dibuat terbuka aja biar ga jadi tempat orang pacaran.. :O

Menara pengamatan burung

View dari atas menara

Setelah berupa keras mengambil gambar dari celah sempit itu disertai rasa was was berharap agar HP yang dipegang ga jatuh, aku turun ke bawah. Rasanya tidak ingin berlama-lama ada di menara itu. Kami pun kembali meniti jembatan kayu dan tiba diujung jalan.

(atas) paket penanaman & konservasi. Biayanya: penanaman mangrove: 150rb/org. penanaman nostalgia: 500rb/org dg fasilitas 1 bibit mangrove, dan papan nama. (bawah) pembuatan pupuk organik.

Setelah melewati tempat pembuatan kompos, jalan paving block yang kami lalui berubah menjadi tanah. Di hadapan kami ada sebuah jembatan yang terbuat dari susunan kayu mangrove. Berdasarkan papan nama sebelumnya, jalan tersebut menuju ke arah pantai? Ah yang bener? Masa iya ada pantai di situ?

Kami terus melangkah masuk lebih jauh ke dalam dan akhirnya sampai di pantai??? 
Pantai yang dimaksud hanyalah berupa sebuah lahan kecil yang dilengkapi dengan sebuah gazebo berikut kursi kayunya. Tak jauh dari gazebo ada beberapa kursi kayu yang lagi-lagi dipake buat pacaran??? bah!

Ini dia bentuk pantainya :p

Setelah istirahat di gazebo sekitar 20 menit, kami memutuskan untuk pulang... 
Hmmm.. senang sekali hari itu bisa bermain, foto-foto narsis, dan menikmati teduhnya rerimbunan pohon mangrove.

Hanya saja...  buat para pasangan yang datang ke tempat ini, tolong hutan indah seperti ini jangan dipakai untuk pacaran... mendingan dipakai untuk belajar mengenal lebih jauh tentang tanaman mangrove itu sendiri, atau akting seperti model dan berfoto sepuasnya, itu jauh lebih baik bukan? ;)



Salam


Ifa Abdoel



No comments:

Post a Comment