"Just because you can't see it, doesn't mean it isn't there" - Laut bukan tempat sampah!

6/11/15

Kelayapan di Taman Sari

Cerita sebelumnya .. Intip Koleksi Patung De Arca

Sang raja berdiri tegap di dalam benteng. Tubuhnya menghadap jendela, mengamati dengan seksama para selir yang sedang asyik mandi sambil bersenda gurau. Tubuh-tubuh molek yang basah dan tidak ditutupi sehelai benangpun bertebaran di sekitar kolam pemandian yang disekelilingnya tumbuh subur bunga-bunga beraneka warna dalam bejana raksasa yang terbuat dari bebatuan alam.

Raja memanggil salah satu dayangnya dan menitah. Dengan penuh rasa hormat, sang dayang menganggukkan kepala, menyembah, dan beringsut dari hadapan raja.

Setengah bergegas, dayang tadi menuruni tangga benteng, berjalan menuju kolam yang penuh dengan perempuan-perempuan cantik. Setibanya di bibir kolam, dayang tadi memanggil dengan hormat salah satu perempuan cantik yang ada di situ.

Semu merah merona pipi sang perempuan saat mengetahui dirinyalah yang diinginkan untuk menemani sang raja berendam bersama..

Benteng di Kolam Pemandian Taman Sari

(flash back)
(09/03/2015)

Sejak pkl. 07 pagi aku sudah selesai packing. Sebuah tas ransel hitam dan sebuah plastik besar berisi oleh-oleh tergeletak di atas tempat tidur. Kulirik jam di tangan. Hmm.. masih ada waktu untuk keliling kota sebelum chek out pkl 13 siang.

Aku melangkah pelan keluar hostel dengan perut kenyang karena tadi pagi menyantap segelas teh manis hangat dan bubur sumsum yang kubeli dari seorang ibu pedagang yang berkeliling di area penginapan.

(FYI: Kalo menginap di hostel, setiap pagi ada beberapa pedagang yang memang diijinkan masuk ke dalam hostel. Mereka berkeliling dan berteriak menjajakan dagangan di depan pintu-pintu kamar. Dagangan yang dijual adalah makanan untuk sarapan seperti bubur sumsum, gorengan, nasi uduk, nasi kuning, dll. Harga makanannya mulai dari serebu rupiah).

Di persimpangan Jl. Sosrokusuman tempat hostelku berada, aku bergerak ke arah kiri menuju Pasar Beringharjo. Lokasi pasar ini masih di area Malioboro, sekitar 300 m dari hostel tempatku menginap.

Di depan pasar sudah berderet penjaja makanan, minuman, dan pakaian, padahal waktu masih menunjukkan pk. 08 pagi. Persis di depan pasar, dua orang wanita tua, yang satu malah lebih pantas disebut nenek-nenek, menjajakan kuliner khas Yogya.

Di hadapan mereka berderet bermacam makanan yang mampu menerbitkan air liur, mulai dari sayuran rebus, sambel kacang, gudeg, gorengan, tempe bacem, tahu bacem, udang goreng, ayam goreng, dsb. Beberapa gelas plastik berisi air teh manis hangat juga tersedia tak jauh dari kursi pembeli.

Hanya ada sepasang suami istri yang sedang makan di situ. Sepi.. hari ini tidak banyak wisatawan yang beredar di Malioboro. Kuputuskan untuk duduk di kursi yang kosong, dekat suami istri tadi.
"Mbah, pesen gudeg sama teh manis anget ya," ujarku.

Dengan tangan keriputnya, si Mbah sigap membuat pesananku. Tak perlu menunggu lama, gudeg tersaji dihadapanku. Asap putih terlihat mengepul saat nasi putih di atas piring rotan beralas daun pisang itu kuaduk dengan sendok. Sarapan gudeg plus teh manis anget di bandrol Rp. 15 rebu *beuhh..*

Setelah kenyang aku melangkah pelan ke arah Benteng Vanderberg yang lokasinya persis di sebelah Pasar Beringharjo. Benteng ini sebenarnya dekat sekali dengan Pasar Beringharjo, tetapi berhubung aku kekenyangan.. jarak 200 m itu berasa jauh lho bro.. (-_-)

Eeh... setelah sampai di depan gerbang masuk, ternyata Benteng Vanderberg tutup! Tutup tiap hari senin pemirsaaa.. *guling guling di pasir* (-_-)
Kata mas-mas penjaganya, tiap senin dilakukan perawatan pada koleksi-kolesi seni dan bersejarah yang ada di dalam benteng, heiizz.. baeklahh.. (T_T)

Benteng Vanderberg

Tak ada akar, rotan pun jadi. Aku berbalik kembali ke arah Pasar Beringharjo dan berhenti di depan Halte TransYogya dengan susah payah.. *gegara kekenyangan cuyyy.. (-_-)

Pada petugas TransYogya aku bertanya apakah ada bus TransYogya yang melewati Taman Sari. Pada saat yang bersamaan seorang tukang becak ikut nyeletuk. "Kalo ke Taman Sari mendingan naik becak aja Mbak, soalnya jauh."

"Halahh.. modus aja nih tukang becak," pikirku dalam hati.
Ndelalah.. belakangan, apa yang dikatakan si tukang becak bukan modus, tapi beneran cuy! Jarak Taman Sari dari Halte TransYogya jauhh beutt.. huahh.. *meres keringet* (-_-)

(FYI: Kalo kamu mau ke Taman Sari, lebih baik dari Malioboro naik becak. Tarifnya sekitar Rp 20 - 30 rebu. Kalo mau naik TransYogya juga bisa. Naik bus TransYogya No. 3A, turun di Halte Ngabean. Dari situ jalan kaki ke Taman Sari sekitar 800 m - 1 km).

Pintu masuk ke lokasi Kompleks Taman Sari

Taman Sari

Taman Sari buka mulai pk. 09 pagi dan aku tiba di situ 15 menit lebih awal. Sambil menunggu loket tiket dibuka, aku duduk di sebuah bangku dekat parkiran motor. Seorang bapak-bapak, sepertinya warga situ, mengajakku bercakap-cakap.

Bagian depan situs pemandian Taman Sari

"Sambil nunggu loket dibuka, mendingan Mbak jalan-jalan dulu ke lorong bawah tanah di sebelah," sambil menunjuk pada sebuah pintu kecil tak jauh dari loket.
"Soalnya, kalo Mbak masuk ke lorong bawah tanah lewat situs pemandian di dalam, nanti Mbak bakal susah nyari lorong bawah tanahnya, karena di dalam itu jalannya nyampur sama rumah penduduk," katanya panjang lebar.

Aku bengong.. tidak mengerti apa yang dikatakannya, swear kaga ngarti cuy!.. mungkin masih eror ya otak gue gegara dipaksa jalan kaki sambil kekenyangan.. :p

Berhubung tujuan utamaku adalah ke kolam pemandian, kuabaikan saja anjuran bapak tadi dan setia duduk di situ hingga loket tiket dibuka. Tepat pkl. 09 pagi loket tiket dibuka. Harga tiket masuk Taman Sari Rp. 5 rebu/orang *beuhh..*

Situs Pemandian

Pohon Bodi, rumput hijau, dan beberapa bangunan kecil mirip pendopo terlihat di bagian depan situs pemandian. Sebuah pintu masuk berupa lorong dengan desain langit-langit yang tinggi dan tangga yang menjorok ke bawah, menjadi pintu masuk menuju kolam pemandian.

Begitu tiba di anak tangga terakhir, baru terlihat jelas situs pemandian Taman Sari. Dua buah kolam pemandian berukuran besar yang di dalamnya dihiasi pancuran berbentuk jamur dipisahkan oleh sebuah jembatan.

Beberapa pot bunga berukuran raksasa tergeletak di tiap-tiap sudut dan tepi kolam. Kolam-kolam ini konon diperuntukkan untuk pemandian para selir (yang disebut juga para istri raja-red) dan putri-putri raja.

Situs pemandian ini dikelilingi tembok tinggi dan berdinding tebal.

Menurut Mbah Wiki, selain raja, hanya para perempuan saja yang diijinkan masuk ke dalam kompleks pemandian ini. Hal itu karena semua perempuan yang masuk ke dalam kompleks pemandian ini harus melepas baju (telanjang). Jadi, selain perempuan dilarang keras  untuk masuk.

Di balik bangunan menara ini terdapat satu kolam berukuran lebih kecil. Kolam tersebut merupakan kolam pemandian khusus untuk raja dan permaisurinya, yang disebut juga Umbul Panguras.

Umbul Panguras

Aku pun tercenung di satu sudut kolam, membayangkan suasana masa lampau yang mungkin terjadi di tempat itu. Terbayang di benakku sang raja berdiri tegap di dalam benteng. Tubuhnya menghadap jendela, mengamati dengan seksama para selir yang sedang asyik mandi sambil bersenda gurau.

Tubuh-tubuh molek yang basah dan tidak ditutupi sehelai benangpun bertebaran di sekitar kolam pemandian yang disekelilingnya tumbuh subur bunga-bunga beraneka warna dalam bejana raksasa yang terbuat dari bebatuan alam.

Raja memanggil salah satu dayangnya dan menitah. Dengan penuh rasa hormat, sang dayang menganggukkan kepala, menyembah, dan beringsut dari hadapan raja.

Setengah bergegas, dayang tadi menuruni tangga benteng, berjalan menuju kolam yang penuh dengan perempuan-perempuan cantik. Setibanya di bibir kolam, dayang tadi memanggil dengan hormat salah satu perempuan cantik yang ada di situ.

Semu merah merona pipi sang perempuan saat mengetahui dirinyalah yang diinginkan untuk menemani sang raja berendam bersama..

Kolam pemandian untuk putri-putri sultan disebut Umbul Kawitan, dan untuk para selir atau istri disebut Umbul Pamuncar.

Konon, masih menurut Mbah Wiki, Taman Sari Ngayogyakarta alias Taman Sari Yogyakarta alias Taman Sari Keraton Yogyakarta, et dah.. banyak beut alias-nya (-_-).. adalah situs bekas taman atau kebun istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun pada jaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765/9.

Di kompleks ini ada terowongan bawah tanah yang menghubungkan Taman Sari dengan Keraton Yogyakarta

Setelah puas berkeliling situs pemandian, aku bergerak keluar melalui pintu besar yang kedua. Di balik pintu yang kedua ini, aku menemukan sisa-sisa bangunan peninggalan bersejarah dari kompleks Taman Sari yang lainnya.

Namun, yang mencengangkan adalah letaknya yang berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. Rumah-rumah tersebut bahkan berdempetan dengan situs-situs bersejarah. Walaupun begitu, area
di sekitar rumah dan situs terlihat bersih dan terawat. Sepertinya masyarakat setempat telah memiliki kesadaran untuk menjaga situs bersejarah Kompleks Taman Sari. Dua jempol deh..^^

Bangunan bersejarah lainnya di Kompleks Taman Sari

Dan ketika aku mencoba naik ke atas atap sebuah gapura yang tampaknya dulu digunakan sebagai pintu gerbang. Sejauh mata memandang yang kulihat adalah rumah-rumah warga yang berdempetan, membentuk labirin..

Dari atas gapura ini bisa melihat rumah-rumah warga yang berdempetan

Dari atas bisa kulihat sekelompok wisatawan yang didampingi oleh seorang pemandu bergerak menuju perumahan warga tersebut dan kemudian menghilang di balik tikungan. Hm.. sepertinya mustahil bagiku untuk mengunjungi lorong bawah tanah via perumahan warga, bakalan nyasar cuyyy...

Entah kenapa, tiba-tiba aku teringat dengan perkataan bapak-bapak tadi pagi yang menunjukkan padaku jalan singkat menuju lorong bawah tanah, hihihi.. cusss yuukk mareee.. ^^

Jalan singkat yang dimaksud adalah pintu kecil yang letaknya persis di sebelah loket karcis. Begitu kecilnya pintu sehingga aku harus membungkukkan badan agar bisa melewatinya. Konon katanya, pintu-pintu memang sengaja di buat pendek, tujuannya agar yang melewatinya menundukkan badan. Di situ terkandung makna bahwa orang Jawa harus memiliki sifat yang rendah hati/tidak sombong.

Jadi, buat kamu yang memutuskan untuk tidak menggunakan pemandu, kamu bisa melakukan tur sendiri mengelilingi Kompleks Taman Sari, tanpa perlu melewati labirin rumah penduduk.

Dari pintu kecil tadi, aku masuk dan melangkah dengan yakin. Dan memang benar, pintu tersebut adalah jalan tersingkat menuju lorong bawah tanah. Dari kejauhan aku mendengar alunan musik yang cukup menghentak dari dalam lorong bawah tanah. Setelah kususuri, ternyata di dalam lorong ada sekelompok anak-anak muda yang sedang mengamen.

What a surprise.. tempat bersejarah jadi area ngamen?? Tak hanya itu, seorang pengemis pun tampak duduk manis di sudut lorong dengan mangkuk kaleng dihadapannya.

Di dalam lorong

Sumur Guling

Setelah melewati pengemis dan pengamen tadi, akhirnya aku tiba  di Sumur Gumuling, Mesjid bawah tanah tempat peribadatan raja dan keluarga.

Masjid ini berbentuk seperti donat dan terdiri dari dua lantai. Lantai atas diperuntukkan bagi jamaah pria dan lantai bawah untuk jamaah wanita. Lantai satu dan dua dihubungkan dengan lima anak tangga yang terletak di tengah-tengah bangunan. Konon lima anak tangga ini melambangkan jumlah rukun islam.

Walaupun berada di dalam tanah, bagian dinding masjid banyak terdapat ventilasi sehingga cahaya matahari bisa leluasa masuk ke dalam.

Konon, Masjid Sumur Gumuling dibangun di bawah tanah agar suara muazin atau khatib terdengar ke seluruh penjuru masjid. Masjid ini sendiri dibangun pada tahun 1765.

Bagian atap masjid berbentuk bulat tanpa atap

Gedung Kenongo

Setelah puas berkeliling masjid, aku melangkah keluar dan melihat puing-puing sebuah bangunan yang terletak di dataran paling tinggi Kompleks Taman Sari. Bangunan ini bernama Gedung Kenongo.

Konon kabarnya, bangunan ini digunakan sebagai tempat sultan menyantap makanannya

Mejeng.. :p

Usai menjelajah Gedung Kenongo, aku menyudahi jalan-jalanku di Taman Sari. Waktu masih menunjukkan pkl. 10.40 siang saat aku meninggalkan Taman Sari.

Untuk kembali ke Malioboro kuputuskan untuk naik becak demi menghemat tenaga.. :p Setelah tawar menawar dengan tukang becak, harga yang kami sepakati sebesar Rp 25 rebu *beuhh..*

Tepat pk. 12.45 siang aku check out dari hostel dan naik TransYogya menuju Stasiun Lempuyangan. Sekitar pkl. 15 sore kereta tujuan Lempuyangan - Stasiun Senen Jakarta yang membawaku, bergerak meninggalkan Yogyakarta.  
Menjelang tengah malam, aku tiba di Stasiun Jatinegara. Welcome home.. ^_^
So long Yogya.. hope we will meet again.. ^_^


Salam


Ifa Abdoel


4 comments:

  1. sarannya kalo ke Jogja lagi nih naik becak tarifnya dari Malioboro sampai Tamansari dari pengelola becak dihimbaunya sih 15-20 ribuan. klo lbh dari itu sih mahal banget. trs FYI bukan masalah jauh-dekat Malioboro ke Tamansari, tapi memang disengaja pemkot Yogyakarta tidak membuat jalur ke Njeron Beteng (lingkungan Kecamatan Kraron)

    ReplyDelete